Posisi resmi Nelson di Lehigh University adalah assistant professor di bidang electrical and computer engineering.
Di AS, itu merupakan gelar untuk guru besar baru di perguruan tinggi.
"Walaupun saya adalah profesor di jurusan electrical and computer
engineering, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan
dan quantum electronics," jelasnya.
Sebagai
cendekiawan muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa
membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan
materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya. Kesibukannya tersebut,
jika meminjam istilah di Amerika, bertumpu pada tiga hal. Yakni, learning, teaching and researching.
Boleh jadi, tak ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan
santai. Di sana, 24 jam sehari dilaluinya dengan segala aktivitas
ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per
hari.
Anak muda itu memang enak diajak
mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya
profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan suka
merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni mengenakan
kemeja berkerah dan pantalon.
Sekilas, dia
terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik
penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi, ketika dia mengajar
atau berbicara di konferensi para intelektual, jati diri akademisi
Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi
dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan
para mahasiswanya di kampus.
Ada yang menarik
di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan kampus
yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira
sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama
kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya,
mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.
"Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya.
September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar
Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas
untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.
"Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini," jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.
Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American
dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu
dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam
tersebut, ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur
California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal
Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada
imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal
Taipei tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang menjadi
menteri selama sejarah AS.
Negara Superpower
tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson.
Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia
menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of
Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering and physics. Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering.
Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua
suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya
mengenai siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang
tuanya dan kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan
sejak saya masih kecil sekali," ujarnya.
Ada
kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya
sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah
doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu
Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi,
Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi
sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut.
"Jadi, terima kasih buat kedua orang tua
saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi
terpacu, gitu," ungkapnya.
Nelson mengaku,
mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin
belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak
keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan
berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan
sesuatu," jelasnya.
Sisihkan 300 Doktor AS,
tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di
Amerika. Tapi, hanya sedikit yang tahu bahwa guru besar belia itu
berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap
Nelson ada hubungan famili dengan mantan PM Turki Tansu Ciller.
Benarkah?
NAMA Nelson Tansu memang cukup unik.
Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas etnis,
ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak
yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan dengan profesor belia
tersebut.
Malah ada yang menduga bahwa dia
adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika dikaitkan dengan hubungan
famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki. Beberapa netters
malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam
website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa fisikawan belia yang
mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari
negerinya Kemal Ataturk.
Ada pula yang mengira
bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok.
Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan
melamar Nelson dan meminta dia "kembali" mengajar di Jepang. Seakan-akan
Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.
Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga
wajah Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak
profesor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang
memang asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala
kekeliruan terhadap dirinya.
"Biasanya saya
langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia.
Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada
profesor asal aslinya dari Indonesia,"jelas Nelson.
Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang,
nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika
lahir, Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya,
Iskandar Tansu.
"Saya suka dengan nama Tansu, kok,"kata Nelson dengan nada bangga.
Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan
selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia
akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1.
Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat
doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat
beasiswa universitas.
"Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.
Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak
sulit memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan
penghargaan dan anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS.
Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang
sudah menjadi cita-cita dia sejak lama. Walau demikian, posisi assistant
professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih
pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau
masyarakat di Indonesia, umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun?
Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena
umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru
besar. Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post
doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson
yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1
dalam proses penerbitan.
Tapi, bukan Nelson
Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali.
Dia akan tetap melakukan riset-riset yang hasilnya bermanfaat buat
kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, dia seperti meniti jalan
suci mewujudkan idealisme tersebut.
Ketika
mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan
terperanjat. Cukup fenomenal. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan,
saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.
Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan mimik
serius.
Tapi, orang bakal mahfum jika melihat
sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar membaca biografi
para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi
pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman,
dan Murray Gell-Mann ternyata sudah diakrabi Nelson cilik.
"Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut,
tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya
muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang
berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu,"
jelas Nelson penuh kagum.
Nelson jadi
profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik
dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan
East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson
terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga
hebat-hebat. "Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang
diperebutkan hanya satu," ujarnya.
Lelaki
penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan beruntung
karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan materi,
menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah
cukup lumayan. Berapa sih lumayannya?
"Sangat
bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di Amerika
Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri.
Jadi, cukup baguslah, he... he... he..," katanya, menyelipkan senyum.
Riwayat hidup dan reputasinya memang wow. Nelson sempat menjadi
incaran dan malah "rebutan" kalangan universitas AS dan mancanegara. Ada
yang menawari jabatan associate professor yang lebih tinggi daripada yang dia sandang sekarang (assistant professor).
Ada pula yang menawari gaji dan fasilitas yang lebih heboh daripada
Lehigh University. Tawaran-tawaran menggiurkan itu datang dari AS,
Kanada, Jerman, dan Taiwan serta berasal dari kampus-kampus top.
Semua datang sebelum maupun sesudah Nelson resmi mengajar di Lehigh
University. Tapi, segalanya lewat begitu saja. Nelson memilih konsisten,
loyal, dan komit dengan universitas di Pennsylvania itu. Tapi, tentu
ada pertimbangan khusus yang lain.
"Saya memilih ini karena Lehigh memberikan dana research yang sangat signifikan untuk bidang saya, semiconductor nanostructure optoelectronic devices. Lehigh juga memiliki leaderships
yang sangat kuat dan ambisinya tinggi menaikkan reputasinya dengan
memiliki para profesor paling berpotensi dan ternama untuk melakukan
riset berkelas dunia,"papar pengagum John Bardeen, fisikawan pemenang
Nobel itu.
Perusahaan-perusahaan industri
Amerika juga menaruh minat dan mengiming-imingi Nelson dengan gaji dan
fasilitas menggiurkan. Itu pun dia tampik.
"Bukan apa-apa. Saya memang tidak tertarik untuk masuk ke industri.
Seperti saya bilang tadi, profesor sudah cita-cita saya. Lagi pula,
kompensasi finansial yang diberikan Lehigh memang sudah bagus banget dan
saya happy," tuturnya.
Nelson tinggal
di sebuah apartemen yang tak jauh dari kampusnya mengajar. Dia tinggal
sendiri. Karena itu, semua urusan rumah dan segala keperluannya
dilakukan sendiri.
Ditanya soal pacar, Nelson
tersipu-sipu dan mengaku belum punya. Padahal, secara fisik, dengan
tinggi 173 cm, berat 67 kg, dan wajah yang cakep khas Asia, Nelson
mestinya gampang menggaet (atau malah digaet) cewek Amerika. Banyak
kriteria kah?
"Ha... ha... ha.... Pertama,
saya ini nggak ganteng ya. Tapi, begini, mungkin karena memang belum
ketemu yang cocok dan jodoh saja. Saya sih, kalau bisa, ya dengan orang
Indonesia-lah. Saya sih nggak melihat orang berdasarkan kriteria
macem-macem. Yang penting orangnya baik, pintar, bermoral, pengertian,
dan mendukung," paparnya panjang lebar, geli karena topik pembicaraan
menyimpang dari dunia fisikanya ke soal wanita